Difable? So ... What Gitu Loh?
Oleh : Ariny NH
Tahun
1994
Saat melangkah usia tiga tahun aku semakin merasa Tuhan nggak
adil karena telah membuat hidupku kurang bahagia. Kurang bahagiannya bukan
karena kesulitan ekonomi keluarga justru orang tuaku masuk dalam orang berada.
Apapun yang aku mau pasti dituruti.
Yang bikin aku gak
bahagia itu ada dua faktor:
1. Didikan keras
dari orangtua. Umur tiga
tahun aku sudah diajarin baca, tulis, berhitung, mengaji dan lain-lain. Tujuannya biar aku lebih
pinter dari anak lainnya.
2. Aku tidak punya teman. Anak umur tiga tahun lagi asyik-asyiknya
bermain, nah aku hanya di rumah main boneka sendiri. Hal itu dikarenakan
keadaan fisikku yang tidak mendukung.
Kakiku itu ada kelainan, menyebabkan aku tidak bisa berjalan.
Di dunia medis nama istilahnya itu Multiple Fraktur Kongenital. Yang artinya
Kondisi patah di anggota gerak sejak lahir.
Jangan ditanya apa
yang aku rasakan, sudah pasti jawabannya adalah bosan! Bahkan aku sempat bertanya ke mama, "Ma, kenapa sih aku diciptakan Tuhan seperti
ini? Tuhan nggak sayang ya
sama aku?"
Dengan lembut mama menjawab, "Arin Sayang,nggak
boleh bilang begitu lagi ya ... Tuhan justru sayang sekali dengan kamu. Tuhan ingin kamu
terhindar dari dosa kaki."
Aku sendiri tidak mengerti apa yang dimaksud dosa
kaki, tapi setiap ucapan lembut mama pasti menjanjikan kebenaran. Aku percaya
mamalah yang akan membawaku ke surga nanti. Surgaku ada di bawah telapak kaki
mama. Itupun yang selalu bu guru ajarkan di sekolah maka aku percaya dan tidak
perlu bertanya lebih lanjut.
Untuk menghilangkan
kesedihan karena aku merasa kesepian
mama setiap sore membawaku pergi ke rumah nenek.
Di rumah nenek itu
ada tiga tanteku. Mereka ada
di rumah saat sore karena siang
hari mereka sibuk sekolahdan kuliah.
Aku ke rumah tante
bukannya diajakin main tapi diajakin nonton film Titanic dan Pangeran Rajawali.
Tahun 1997
Aku sudah berumur enam tahun. Alhamdulillah, di tahun
1997 usaha papaku semakin maju.
Alhasil, papaku
bisa beli rumah sendiri. Soalnya selama ini tinggal di rumah yang dipinjami
oleh mbah buyut. Mau nggak mau aku harus pindah rumah. Jujur aku sedih pindah
rumah karena aku takut hidupku semakin sepi karena jauh dari tante-tante.
Papaku ternyata
beli rumah di sebuah desa kecil, nama desanya itu desa Cemani. Jauh banget dari
keramaian.
Dugaanku salah, di
Cemani justru aku mulai dapat teman baru. Di antaranya adalah Ana, Huda, Via,
mbak Idah, Eric dan masih banyak
lagi. Mereka tetanggaku yang baik banget. Mereka yang datang ke rumah untuk main bareng atau sekadar nonton TV
bareng.
Sayangnya mereka
bisa ke rumahku hanya pada saat sore hari. Pagi hari mereka harus sekolah,
siang mereka harus tidur siang, sore baru diijinkan untu main.
Saat pagi hari aku
lihat mereka berangkat sekolah aku
merasa sedih. Dalam hati muncul keinginan sekolah sama seperti mereka.
Suatu malam aku sampaikan keinginanku untuk sekolah pada papa dan
mama.
“Papa, Arin pengen sekolah seperti Ana, Huda dan
teman-teman yang lain,” ujarku membuka pembicaraan.
“Wah! anak papa sudah gede, sudah ingin
sekolah. Ya, udah besok papa
daftarin kamu ke sekolah yang paling bagus di Solo.”
Wajahku berubah
cerah. “Beneran, Pa?”
“Iya benar. Kapan
sih Papa pernah bohong sama kamu? Sekarang kamu tidur dulu ya!”
Aku mengangguk dan
menuruti perintah papa. Nggak sabar ingin cepat pagi. Beneran nggak sih esok
papa mau daftarin aku sekolah?
Esok harinya papamenepati janji. Papa membawaku
pergi ke sekolahan tapi bukan sekolah yang aku inginkan. Papa membawaku ke
sekolah SD. Sekolah yang aku inginkan itu sekolah TK alias Taman Kanak-kanak biar aku sekelas sama Ana, Huda dan Via.
“Pa, aku kan ingin
sekolah TK biar sekelas sama Ana, Huda dan Via, kenapa papa malah membawaku ke
sekolah SD?”
“Sayang, kamu itu
sudah bisa baca, tulis dan
berhitung jadi kamu nggak perlu lagi sekolah TK segala.”
Jujur aku kecewa,
tapi aku tak bisa membantah. Lagi-lagi akumenurut dengan apa yang dikatakan
papa daripada aku nggak jadi disekolahin.
Di kantor guru saat
menghadap kepala sekolah. Aku sama papa disambut oleh tatapan sinis. Aku
mengamati kepala sekolah itu
dari ujung kaki ke ujung kepala. Kepala sekolah itu bertubuh tinggi, kurus,
kulitnya hitam dan berkumis.
“Selamat pagi, Pak.
Ada keperluan apa Anda ke
sini?” Tanya kepala sekolah itu ke papa.
“Selamat pagi juga Bapak. Saya ke sini ingin
mendaftarkan anak saya sekolah di sini.” Papa menyentuh pundakku.
Sekarang gantian kepala sekolah itu yang
memandangiku lagi dari ujung
kaki ke ujung kepala.
“Bapak nggak punya
kaca ya? Anak bapak kan termasuk penyandang difable, Harusnya anda mendaftarkan
anak Anda ke sekolah SLB bukan sekolah di sini!” ujar
kepala sekolah itu dengan nada tinggi.
Papa menjawab dengan
nada tak kalah tinggi, “Hey, Anda
jangan sembarangan bicara meskipun anak saya punya kekurangan tapi otak anak
saya jauh lebih cerdas dibandingkan dengan murid di sekolah ini! Permisi!”
Usai berkata
demikian papa langsung menggendongku untuk keluar dari sekolah ini.
Kami pulang ke
rumah, nggak mampir kemana-mana dulu. Sesampai di rumah mama menyambut kami
dengan kening berkerut.
“Loh, kok
pulang-pulang wajah kalian kusut seperti baju belum disetrika?”
“Aku nggak
dibolehin sekolah sama kepala sekolahnya. Kata kepala sekolah aku pantasnya
sekolah di SLB. Ma, sekolah SLB itu apa sih?” Kataku ingin tahu.
Mata mama beralih
ke papa. Papa mengedipkan mata.
Tak lama kemudian
mama mengangguk lalu berkata, “Kamu yang sabar ya, kamu itu terlalu pintar
untuk sekolah di sana. Besok papa
akan daftarin kamu ke sekolah yang jauh lebih bagus daripada sekolah yang
tadi.”
Esok harinya papa
membawaku ke sekolah SD Al-Amin, letak sekolah tak jauh dari rumah. Di sekolah
itu lah aku diterima dengan senang hati. Semua guru ikhlas menerima
kekuranganku dan bahkan mereka menjadikanku sebagai anak mask arena aku selalu
masuk 5 besar dari kelas 1-3.
Hari demi hari berlalu tanpa terasa usiaku sudah 21 tahun. Aku
sudah tak tinggal lagi di Solo, sudah pindah ke Martapura. Kesunyian dan
kesendirian masih tak mau beranjak dari hidupku. Tapi aku bisa membuat
kesunyian itu menjadi berkah. Kesunyian mampu melahirkan
imajinasi-imajinasi di kepalaku. Semakin hari imajinasiku semakin liar,
sehingga muncul keinginan menjadi penulis sepenuhnya untuk menuangkan
imajinasi ke dalam tulisan. Menjadi penulis tentu bukanlah hal yang mudah. Aku
harus merasakan pedihnya penolakan dari penerbit mayor sebanyak 30 kali.
Apakah penolakan dari penerbit
menyurutkan semangatku? Tentu tidak, penolakan justru membuatku kuat dan
semakin semangat berkarya. Alhamdulillah, Tuhan masih menyayangiku. Tahun 2013
naskahku tembus mayor label dan sekarang sudah beredar 2 novelku di gramedia.
Judulnya Kamu Adalah Cintaku dan Kukembalikan Cinta. Bukan hanya 2 buku yang
berhasil kulahirkan tapi puluhan. Berikut rinciannya : 8 novel kroyokan (terbit
di indie), 3 buku antologi terbit di mayor, puluhan cerpen lolos di lomba yang
diadakan penerbit indie. Sekarang bukan Cuma jadi penulis tapi juga jadi editor
di sebuah penerbitan indie dan aku buka usaha kecil-kecilan seperti jual pulsa,
cetak foto, dan lain-lain.
Bukan Cuma itu saja, pada tahun 2013
aku mendapat bantuan kursi roda dari Senyum Pelangi, program kab. Banjar yang
bekerja sama dengan UCP (United Cerebral Palsy) Yogyakarta. Aku masuk gelombang
2 dari 5 orang yang menerima bantuan tersebut. Senang? Pastinya. Karena kursi
roda ini akan meringankan langkahku untuk menjadi penulis yang sukses. Karena
kursi roda ini saya mengenal orang-orang baru, diundang ke acara hari jadi kab.
Banjar, bertemu dengan banyak wartawan. Ini bagaikan mimpi buat aku. So, aku
ingin berterima kasih banyak kepada kab. Banjar yang sudah mengadakan program
Senyum Pelangi dan juga terima kasih kepada UCP (United Cerebral Palsy) yang
telah memberi kursi roda kepadaku. Apa yang kalian beri sangat berarti untukku.
Dari pengalaman hidup, aku
menyimpulkan bahwa “Keterbatasan bukan penghalang seseorang untuk maju, yang
menghalangi itu rasa ingin mendapat sesuatu dengan cepat.”
Aku berharap kisah nyata dalam
hidupku mampu memotivasi kalian semua.
***
Sungguh meninspirasi dan bisa memotivasi para penulis-penulis pemula yang belum apa-apa sudah menyerah, Terima kasih, mb Ariny... :) :)
ReplyDeleteaminnn *emang itu tujuan saya biar penulis2 lain itu pantang menyerah
DeletePengalaman menarik yang bermanfaat menginspirasi anak-anak negeri ini termasuk saya. Kami yang sempurna, belum bisa menjadi penulis sementara Airiny sudah melakukan hal yang luar biasa. Sukses terus mbak
ReplyDeleteSubhanallah terenyuh sekali baca ceritanya. Kakak hebat. :'D
ReplyDelete