Judul : Perjalanan 1.827
Hari
Penulis : Agus Sasirangan & Arief Rahman Heriansyah
Penerbit : PT. Grafika Wangi
Tebal : 213 halaman
Agus Gazali Rahman
atau biasa disapa Agus Sasirangan. Di tahun 2016 siapa sih warga banua
Kalimantan Selatan yang tidak mengenalnya? Dia bukan Cuma meraih title ‘Runner
Up Master Chef Indonesia season 1’ tapi juga melakoni 5 profesi sekaligus yakni
Chef, Guru, Fashion Designer, Wirausaha kuliner dan entertainner. Tak semua
orang tahu di balik kesuksesan Mas Agus ada perjuangan luar biasa.
Pada 15 Oktober 2016 Mas Agus melaunching buku biografi
perjuangan kariernya di dunia kuliner. Buku itu diberi judul ‘Perjalanan 1.827
Hari” Mas Agus mengemas isi buku dengan sejujur-jujurnya.
Buku “Perjalana 1.827 Hari” sebenarnya ada 5 bab. Bab
pertama dibuka dengan kisah pilu masa kecilnya Mas Agus. Tahun 1997 di saat
anak-anak cowok usia 11 tahun asyik beli mobil tamiya, Mas Agus justru berjuang
nabung 500 rupiah sehari demi bisa beli kompor minyak tanah. Ia mulai masak
sendiri pasca ditinggal sang ibu ke Mekkkah.
Bab kedua, menceritakan tentang pahitnya hidup di
perantauan. Yup, Mas Agus begitu lulus dari Banjarmasin, ia ke Malang dengan
beasiswa yang pas-pasan. Dia juga mulai mengikuti kompetisi-kompetisi keren.
Bab ketiga, Mas Agus sudah masuk Galery Master Chef
season 1. Di sanalah perjuangan Mas Agus yang sesungguhnya. Mentalnya dibanting
abis-abisan. Tahu sendiri kan komentar Chef Juna kayak gimana?
Dari buku itu saya menemukan fakta terbaru bahwa seorang
Mas Agus ternyata phobia naik kapal laut. Di halaman 33 tertulis “Perjalanan
naik kapal laut ternyata tidak seenak yang dibayangkan. Sumpah! Angin laut yang
membuat masuk angin dan muntah-muntah.” Dari kalimat itu aja sudah tersirat Mas
Agus kapok naik kapal laut.
Terbesit tanya dalam hati, “Posisimu dimana toh, Mas?
Dirimu berdiri doi ujung kapal ala-ala Jack di fim Titanic kah jadi masuk
angin?”
Menjelang ending bab 4, saya jadi gregetan. Bab ini
menceritakan Mas Agus lagi galau mikirin modal bangun mie Bancir di
Banjarmasin. Rasanya tuh pengen teriak, “Kenapa mesti galau toh Mas? Kan kamu
bisa nagih royalti 4 buku resepmu di GPU. Apalagi satu judul cetak 3000 eksemplar.
Saya yakin deh satu judul terjual 1000 eks. DP di GPU sampe 5 juta, 4 judul
berarti udah dapet DP 20 juta.
Buku Perjalanan 1.827 Hari juga dilengkapi dengan
qoutes-qoutes manis. Qoute yang saya suka ada 2. Pertama di halaman 57.
Berbunyi, “Bermimpilah setinggi langit, jika kau jatuh, kau jatuh di antara
bintang-bintang.”
Qoute favorit kedua di halaman 135. Berbunyi, “Kadang
ilmu yang kita berikan lewat suara bisa hilang begitu saja tanpa membekas di
telinga dan benak orang lain namun lewat ilmu yang kita goreskan dalam sebuah
buku tentu akan lebih banyak memberi manfaat yang selalu bisa ada wujudnya di
tangan orang lain.”
Tak
ada karya yang sempurna. Kesempurnaan hanya milik Allah. Di buku “Perjalanan
1.827 Hari” aku menemukan beberapa kekurangan. Di antaranya :
1. Ada beberapa yang bikin dahi
saya mengernyit. Salah satunya di halaman 35, tertulis kata ‘Bahasa Bakumpai’
ada baiknya bahasa Banjar make footnote aja. Jika diedarkan ke tokobuku seluruh
Indonesia, pembaca di luar Kalsel pada tidak mengerti. Saya yang 14 tahun di
Kalsel aja, tidak mengerti Bahasa Bakumpai.
2. EBI (Ejaan Bahasa Indonesia)
masih banyak yang keseleo. Terutama penulisan di+kata tempat yang harusnya
dipisah malah disambung. Di+kata kerja yang harusnya disambung malah dipisah.
3. Peletakan tanda baca yang
kurang pas pada dialog. Seperti yang tertulis di halaman 169 : “Alhamdulillah,
makasih banyak ya mas.”, (Salah) Yang benar seperti ini, “Alhamdulillah,
makasih banyak ya, Mas.”
Berhubung buku
Perjalanan 1.827 Hari sudah sangat menginspirasi, kekurangan yang saya sebutin
tak kan berarti apa-apa di mata pembaca. Apalagi yang sudah terlanjur ngefans
sama Mas Agus hehehe.
Well, Jika saya
disuruh ngasih rating maka saya saya akan kasih 3,5 bintang. Saya nyesel akut
baca buku tersebut. Nyeselnya itu ngefollow dan kenal dekat sama Mas Agus bulan
Agustus 2016, coba kalau saya kenal dia dari 3 tahun yang lalu pasti buku itu
terbitnya di Arsha teen.
*resensi ini dimuat di radar banjarmasin
No comments:
Post a Comment