Jejak-jejak Karyaku

Wednesday, May 23, 2018

Tips Membuat Opening yang Menarik


Paragraf awal adalah bagian terpenting yang akan menentukan sebuah naskah diterima atau tidak. Sayangnya, biasanya banyak penulis yang bingung untuk memulai sebuah cerita yang akibatnya paragraf awal biasanya masih ‘gamang’. 
Seorang ahli copywriter, Eugene Schwart saja bisa menghabiskan waktu satu minggu hanya untuk membuat satu paragraf pembuka yang terdiri dari tidak lebih dari 50 kata! Begitu krusialnya paragraf pembuka, karena paragraf pembuka ini semacam pintu gerbang yang harus memancing pertanyaan ‘what’s next’ dari pembaca.


Ketika paragraf awal menarik, voila, ibarat sebuah rumah, maka gerbang masuknya sudah terbuka sangat lebar dengan selusin pelayan yang menyambutmu masuk ke rumah tersebut.  Tapi jika paragraf pertamamu tidak menarik, mungkin bisa diibaratkan kamu datang ke rumah orang yang berhutang semilyar padamu. Jangankan dibukakan pintu dan disambut hangat, mungkin ia akan mengacuhkan serentetan bel yang kamu pencet dan berpura-pura tidak ada di rumah. Tulisanmu selanjutnya akan diacuhkan sekalipun sebenarnya tulisanmu sangat menarik menandingi penemuan UFO di langit Jakarta.
Sayangnya banyak penulis pemula yang menggunakan opening cuaca. Seperti ini contohnya :

Berikut ini tips-tips penulisan opening/paragraf awal yang menarik:

1.  Gaet minat pembaca dengan menyuguhkan konflik.

Biasanya cara ini lumayan ampuh untuk beberapa genre cerita. Coba deh pikir, apa sih yang paling bisa memaksa kita buat keluar dari rumah, berhenti sebentar selama diperjalanan atau menarik perhatian sekerumunan manusia? Kecelakaan, perkelahian, kebakaran dan lain-lain. KONFLIK. Pada dasarnya manusia selalu tertarik dengan konflik.
Konflik ini, menurutku bisa dibagi menjadi beberapa type, di antaranya:

a.   Memunculkan masalah yang harus diselesaikan oleh karakter
Contohnya di cerpen The Gift of the Magi karya O.Henry (1906) berikut ini:

Satu dolar dan delapan puluh tujuh sen. Cuma itu. Bahkan, enam puluh sen dari jumlah itu terdiri dari uang receh bernilai satu sen-an, hasil simpanannya selama ini—yang didapatnya dengan cara mendesak tukang sayur, tukang daging dan penjaga toko kelontong agar sudi menjual dagangan mereka kepadanya dengan harga termurah. Proses tawar-menawar itu tidak jarang membuatnya malu, hingga pipinya memerah, sebagaimana semua orang pasti merasakan hal yang sama jika mereka ada di posisinya. Tiga kali sudah Della mempermalukan diri. Satu dolar dan delapan puluh tujuh sen. Lebih sial lagi, besok adalah Hari Natal.

See? Di sini ia langsung mengemukakan pokok permasalahannya (yang digaris bawah dan di bold). Sementara, kalimat lainnya mendramatisir permasalahan dengan memberikan gambaran keadaan ekonomi karakter  yang pas-pasan.

b.  Memulai dengan Aksi

Misalnya di cerpen The Man who Shouted Teresa karya Italo Calvino:

Aku menjauh dari trotoar, berjalan mundur beberapa langkah dengan wajah tengadah, lalu dari tengah jalan, seraya mengatupkan kedua tangan agar membentuk corong di sekitar mulut, aku berteriak sekeras-kerasnya: “Teresa!”

Ini terasa lebih dramatis kan dibandingkan kalimat “Aku berdiri di trotoar dan berteriak memanggil Teresa”
Walaupun toh intinya sama aja. Tapi untuk dijadikan opening, lebih dramatis lebih bagus.

c.   Memberikan Garis Besar Cerita

Contohnya ada di karangan penulis favoritku waktu kecil, Roald Dahl, Pesta Makan Malam (1973) sebenernya, ini agak susah dan jarang dipakai untuk opening novel (sepanjang yang pernah aku baca sih ya)

Begitu George Cleaver resmi menjadi seorang jutawan, dia dan istrinya, Mrs. Cleaver, pindah dari rumah kecil mereka di pinggiran kota ke sebuah rumah mewah di tengah kota London. Pasangan itu kemudian menyewa jasa seorang koki asal Prancis, Monsieur Estragon, dan seorang pelayan berkebangsaan Inggris, Tibbs—dengan tuntutan gaji yang sangat besar. Dibantu oleh kedua orang tersebut, pasangan Mr. dan Mrs. Cleaver pun berniat menaikkan status sosial mereka dan mulai mengadakan pesta makan malam yang luar biasa mewah sebanyak beberapa kali seminggu.

Rasanya semuanya adalah inti ceritanya. Dari paragraf pertamanya saja, kita bisa langsung tahu inti ceritanya adalah tentang pasangan suami-istri Cleaver yang berniat menaikkan status sosialnya. Kita juga bisa tahu konflik antara Mr Cleaver dengan para pelayannya yang menuntut kenaikan gaji. Selain itu, kita bisa langsung membayangkan setting tempatnya. Hebatnya, hanya dari paragraf ini saja, pembaca akan bertanya-tanya, “Kenapa? Kenapa mereka ingin menaikkan status sosialnya sebegitunya sampai rela mempekerjakan koki Francis dsb?” pembaca akan membaca lagi lanjutannya :P

d.  Mengisyaratkan Ketegangan

Ini hampir setype sih dengan point a, bedanya disini yang dituliskan hanya ‘tersirat’ akan terjadi ketegangan. Misalnya di The Interlopers (1919) karya Hector Hugh Munro:

Di tengah rimbunnya pepohonan dalam sebuah hutan lebat di belah timur tebing Pegunungan Carpathian, seorang pria berdiri tegap mengawasi sekelilingnya. Saat itu musim dingin, dan ia tampak seolah sedang menunggu monster hutan datang menghampirinya, dalam jangkauan pandangannya, agar kemudian dapat ia bidik dengan senapan berburunya.

See? Di paragraf ini, kita bisa langsung membayangkan ‘tanda bahaya’ yang akan diceritakan lebih lanjut di paragraf-paragraf selanjutnya melalui karakteristik, setting dan peralatan.

2.  Suguhkan lokasi yang berperan besar dalam cerita

Misalnya dalam karya A Clean, Well-Lighted Place karya Ernest Hemingway tahun 1926 berikut ini:

Saat itu larut malam dan semua orang beranjak meninggalkan café tersebut kecuali seorang pria tua yang duduk dalam bayang-bayang dedaunan pohon yang berdiri kokoh di samping sebuah lampu listrik. Di siang hari, jalanan di depan café sarat akan debu kotor, namun di malam hari embun yang terbentuk di udara serta-merta menyingkirkan serpihan debu dari permukaan jalan. Itulah sebabnya si pria tua senang duduk di café saat semua orang justru ingin pulang ke rumah, karena ia tuli dan di malam hari suasana di jalan tersebut berubah sunyi, seolah membawanya ke alam lain.

Dari paragraf ini, kita bisa lihat adanya hubungan special antara karakter, lokasi kejadian dan tema keseluruhan (yang sebenernya udah disyaratkan di judulnya juga). Lokasi, juga bisa merepresentasikan karakter dan tema yang diambil. Misalnya saja, disitu, kita bisa membayangkan sifat penyendiri lelaki tua yang berjiwa rentan, kesepian, dan mengidap insomnia dari cara penulis memilih setting dan memvisualisasikannya.

3.  Posisikan diri kamu sebagai pembaca.

Paragraf awal yang baik harus bisa memancing keingintahuan pembaca. Bagaimana cara kita tahu apa yang menarik untuk pembaca/yang bisa memancing keingintahuan mereka? Simple! Setelah selesai menulskan paragraf awal, coba posisikan diri kamu sebagai pembaca. Cobalah untuk melihat naskah itu dari sudut pandang pembaca. Kalau kamu merasa ingin untuk melanjutkan paragraf selanjutnya, selamat, bisa jadi kamu berhasil membuat paragraf awal yang cukup menarik. Ingat, buang ego dan segala kepentinganmu sebagai penulis sewaktu memposisikan dirimu sebagai pembaca.

4.  Mulailah dengan sebuah pertanyaan

Ini biasanya dipakai sama sales buat menarik pembeli. Disebuah salon kecantikan di MBK Bangkok, ada tuh yang majang tulisan yang intinya kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia, “Anda jones? Ingin mendapatkan pasangan?” (Oke, dari sekali liat, iklan ini cukup rese.) atau di sebuah tempat gym –yang lagi-lagi kalimat awalnya bikin nyesek. “Pacar anda dibawa lari orang? Ingin langsing dan sehat?”
(Apa coba hubungannya pacar selingkuh sama langsing dan sehat?)

Atau semacam iklan MLM, “Ingin bisnis anda menghasilkan uang bahkan sewaktu anda tidur?” (gampang! Belilah produk tuyul elektrik dari kami! Bisa membedakan uang palsu dan uang asli! Spesialis uang besar dan dollar! Anda bisa mendapatkannya hanya dengan 1000 Baht saja!)

Mungkin ada beberapa novel yang memulai paragraf awal dengan sebuah pertanyaan seperti ini. Contohnya : novel Hold Me Closer karya Idha Febriana - winner TAT S1.



Pertanyaan yang paling kuhindari di dunia ini bukanlah pertanyaan polos dari anak-anak yang menanyakan dari manakah mereka berasal, atau bagaimana mereka bisa sampai di dunia ini? Menjelaskan hal itu pada mereka bisa dibilang jauh lebih mudah daripada harus menghadapi para biang kepo yang selalu menanyakan hal sama tiap kali bertemu.
Kapan nikah?
Kapan kasih ibumu cucu?
Usiamu udah hampir kepala tiga, teman-teman seusiamu udah punya tiga orang anak, lho. Kamu kapan?
Dan banyak lagi yang lainnya.     




1 comment: